BeritaKeren14 - Beberapa hari belakangan, kembali heboh dengan munculnya wacana memindahkan ibu kota Republik Indonesia. Para peneliti di Kementerian Dalam Negeri mengkaji rencana memindahkan ibu kota Indonesia.
Wenri Wanhar - Jawa Pos National Network
20 Desember 2017. Saat merayakan Hari Kesetiakawanan Sosial Nasional, Presiden Jokowi menyatakan keinginannya melanjutkan apa yang telah dirintis Presiden Soekarno: Memindahkan ibu kota Indonesia dari Jakarta ke Palangka Raya.
Pelaksana tugas (Plt) Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan (Litbang) Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Dodi Riyadmaji mengingatkan kembali hal itu di sela Rakernas Kelitbangan Kemendagri 2017.
Makanya, Rakernas Kelitbangan Kemendagri 2017 "di Palangka Raya ini memiliki nilai strategis terkait ide Jokowi itu," kata Dodi, di Swiss Belhotel Danum, Palangka Raya, Rabu, 15 Maret 2017.
Perundingan para peneliti Kemendagri ini diharapkan mampu menerjemahkan maunya Presiden Jokowi.
Dan mengingat memindahkan ibu kota bukan perkara mudah, lembaga ini akan melakukan serangkaian kajian.
Menelaah baik-baik kabar yang disampaikan pejabat Kementerian Dalam Negeri itu, agaknya Presiden Jokowi hendak menyambung rencana lama. Rencana yang pertamakali dicetuskan Presiden Soekarno pada 17 Juli 1957.
Mari sejenak bernostalgia...
Selasa, 16 Juli 1957
Bung Karno memasuki hutan Kalimantan. Diiringi sejumlah perahu, Presiden pertama Indonesia bertolak dari Kabupaten Kapuas, mengarungi Kayahan, sungai besar yang mengaliri Borneo Tengah.
Rakyat keluar dengan biduk masing-masing. Sambil memekik "merdeka!", "merdeka!" mereka menyambut Bung Karno yang selama ini hanya dilihat di potret yang dijual di perahu-perahu.
Di saat bersamaan ada kesibukan di kampung kecil, di tengah rimba raya Kalimantan. Kampung Pahandut namanya. Berpenduduk lebih kurang 900 jiwa.
Sejumlah rakyat berkumpul. Membuat panggung. Rencananya, esok hari Pahandut kedatangan tamu agung, Presiden Soekarno. Dan esok hari, Pahandut akan berganti nama jadi Palangka Raya.
Tiga puluh enam jam lamanya Bung Karno memudiki sungai itu.
"Soekarno menumpang kapal selama dua hari dua malam menyusuri sungai dari Banjarmasin," kata Sabran Ahmad, tokoh pemuda setempat (kemudian hari menjabat Ketua Dewan Adat Dayak Kalimantan).
R. Masri Sareb Putra dalam buku 101 Tokoh Dayak yang Mengukir Sejarah menceritakan Sabran Ahmad orang yang ikut mengiringi rombongan Bung Karno.
Baca juga: MENGEJUTKAN !!! Ridwan Kamil Siap Jadi Cagub,, Penantangnya Diprediksi dari Barisan Selebritis !!
Sesampai di gerbang pedalaman Dayak di Kuala Kapuas, rombongan dihadang. Prajurit-prajurit Dayak dengan pakaian khasnya melingkarkan biduk mereka di muka kapal yang membawa Bung Karno.
Di tepian, orang-orang menabuh genderang. Presiden turun. Begitu menjejakkan kakinya di tanah, orang-orang mempersilakannya naik joli yang indah.
Joli adalah tandu untuk mengusung raja.
Si Bung menolak. Diletakkannya bendera merah putih di atas joli. Lalu, bergabung dengan orang banyak yang mengibar-ngibarkan bendera merah putih.
"Orang-orang asing yang mengatakan Kalimantan ingin memisahkan diri terbukti salah," gumam Bung Karno, sebagaimana ditulis Gerry van Klinken dalam Pembentukan Provinsi Dayak di Kalimantan, termuat dalam buku Antara Daerah dan Negara: Indonesia Tahun 1950-an.
Kampung Pahandut. Rabu, 17 Juli 1957
Soekarno meletakkan batu pertama pembangunan Palangka Raya, ibu kota Kalimantan Tengah yang secara administrasi terbentuk pada 23 Mei 1957 melalui Undang-Undang Darurat No. 10 Tahun 1957 tentang Pembentukan Daerah Swantara Tingkat I.
Di lokasi itu, kini berdiri Tugu Soekarno. Jalan S. Parman, persis depan kantor DPRD Propinsi Kalimantan Tengah.
Di tugu itulah, enam puluh tahun lalu, Bung Karno berpidato…Palangka Raya dibangun bukan sekadar untuk ibu kota Kalimantan Tengah. Tapi ibu kota Indonesia.
"Jadikanlah kota Palangka Raya sebagai modal dan model," serunya seraya menggambarkan konsep transportasi sungai dan jalan raya.
Sebagaimana sungai-sungai di Eropa, presiden pertama Indonesia memimpikan Kahayan jadi tempat yang cantik untuk bersantai menikmati keindahan.
"Janganlah membangun bangunan di sepanjang tepi Sungai Kahayan. Lahan di sepanjang tepi sungai tersebut, hendaknya diperuntukkan bagi taman sehingga pada malam yang terlihat hanyalah kerlap-kerlip lampu indah pada saat orang melewati sungai tersebut," paparnya.
Sebagai orang yang disiplin ilmunya arsitektur, wajar saja Bung Karno memikirkan hal tersebut.
Hari itu juga Pahandut berganti nama jadi Palangka Raya. Nama ini diinspirasi dari diksi Utus Palangka Bulau--identitas tua rakyat setempat, sebelum para ilmuwan Barat melabeli mereka dengan sebutan Dayak.
Secara harafiah, Utus Palangka Batu berarti utusan dari dunia langit. Saat meletakkan batu pertama, Soekarno memulangkan lagi nama itu jadi Palangka Raya…hmm…utusan dunia langit!
Nah, untuk mewujudkan mimpinya, "Soekarno berhasil meyakinkan Rusia untuk membangun jalan di sana. Jalan menembus hutan rimba," tulis Gerry van Klinken.
Para insinyur Rusia membangun jalan raya di lahan gambut. Lancar.
Soekarno tak main-main dengan rencananya.
"Dua kali Bung Karno mengunjungi Palangka Raya, untuk melihat langsung potensi kota itu untuk jadi pusat pemerintahan," tulis Wijanarka dalam buku Soekarno dan Disain Rencana Ibukota RI di Palangkaraya.
Namun apa boleh buat. Rencana tinggal rencana. Seiring lengsernya Soekarno, haluan pun berubah.
Tempo hari, 20 Desember 2017. Saat merayakan Hari Kesetiakawanan Sosial Nasional, Presiden Jokowi menyatakan keinginannya melanjutkan apa yang telah dirintis Presiden Soekarno: Memindahkan ibu kota Indonesia dari Jakarta ke Palangka Raya.
Melalui Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan (Litbang) Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Dodi Riyadmaji, di sela Rakernas Kelitbangan Kemendagri 2017, negara memberi kode: Lanjutkan apa yang sudah ditapaki Bung Karno.
sumber: www.jpnn.com
No comments:
Post a Comment